Sabtu, 12 Juni 2010

Di Ambang Tidurku


Ada hembusan angin dingin membawa kekasih pada baringku. Semantara aku terbangun. Menggigil pada papan tidurku yang cuma berlantai ubin. Wajahnya jakal betina.

Beban terasa nikmat bagi tubuhku
. Izinkan aku menyimpulkannya sebagai kenikmatan akibat menanggung. Kenikmatan yang kumaksud bukanlah rasa-rasa permukaan. Bukan sejenis rasa nyaman yang membuat engkau tersenyum yang tenang bagai dalam obat bius. Bukan pula pada pemuncakan atau masturbasi persetubuhan yang membuat otot-ototmu kejang dan kejan. Yang demikian adalah mudah untuk ditebak. Yang demikian adalah murahan.

Kenikmatan menanggung ini tak pernah aku bicarakan. Sebab ia tak bisa dibicarakan. Aku berani membicarakannya denganmu sekarang, sebab engkau tak ada di hadapanku. Tapi jika engkau ada padaku, jika aku bisa melihat wajahmu, pembicaraan ini tak akan menyesatkan. Akan menurunkan rasa yang halus dan syur, yang cabul, yaitu rasa yang dicari-cari. Rasa ini tak bisa dicari atau dibagi. Ia sungguh intim sendiri. Membaginya sangat berbahaya menjadi penyesatan. Kata-kata hanya bisa memuat apa yang terukur, padahal ia tak terukur.

Malam. Di lantai tidurku yang berlantai ubin. Sambil melihat dalam kegelapan ruangan 3x3 meter, sekilas terlintas untuk mencoba membagikan kesimpulan sebagai kenikmatan akibat menanggung.

Ah, berbagi. Di malam-malam seperti ini kutemukan betapa ajaib hal-hal yang berhubungan dengan berbagi. Kata kerja ini “berbagi,” “membagi,” tak bisa diubah menjadi kata benda tanpa mengubah maknanya. Ia tak bisa dialih bentuk menjadi “pembagian.” Sebab, dengan proses pembendaan, kata benda menghilangkan subyek yang melakukan. Dengan menjadi benda, ia menjadi subyek itu sendiri. Ia tak lagi menjadi proses. Kata kerja, yang tak pernah penuh pada dirinya, selalu membutuhkan subyek. “Berbagi,” “membagi,” selalu serentak menyiratkan manusia-manusia yang berbagi dan membagi.

Tapi tak bisa kubagikan kenikmatan-kenikmatan yang kualami ini. Kenikmatan menanggung ini tak bisa kubagikan. Juga tidak bisa kubagikan dengan kata-kata atau cerita. Kata-kata hanya menyesatkan dan mengangkat pengalaman ke permukaan sebagai sekadar sensasi yang binal dan kurang senonoh. Kenikmatan ini hanya bisa datang dalam diam dan lidah kelu para kesatria yang mati dalam medan perang.

Aku takut saat tidur lagi nanti kesadarnku akan terganggu. Mana otak tak bisa memerintahkan saraf-sarafku. Kita tidak bisa memerintahkan tangan, kaki, pita suara, atau apapun untuk bergerak. Aku takut melihat wajahnya jakal betina. Mengalami sedikit halusinasi. Sebelum ia meninggalkan aku bersama terbit matahari. Dengan cara yang sangat nakal. Aku mengalami apa yang disebut orang jawa sebagai “tindihan” atau ketindihan.” Keadan yang biasanya terjadi di ambang tidur. Yaitu ketindihan makhluk gaib. Ada badan halus yang menunggang pada kita sehingga kita tak bisa bahkan untuk membuka mata. Ia menindih kita dan melakukan hal-hal yang ia mau lakukan pada kita.

Aku memutuskan untuk berdiam. Aku berani bertaruh, besok pagi aku akan bangun dari mimpi dan terheran-heran bahwa apa yang kualami ini tak berarti apa-apa selain kekacauan pikiran ataupun hal yang telah diulang-ulang orang. Kututup jurnalku dan kujadikan bantal.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar